Artikel opini berjudul Arogansi Turut Menjatuhkan Perusahaan (Kompas, 30/06/2018) terus teriang dan memanggil-manggil untuk menuliskan sesuatu yang terpendam dan menjadi kekhawatiran sejak lama. Sayangnya dengan alasan kesibukan ngantor dari jam delapan hingga setengah lima petang maka panggilan tersebut dengan menyesal diabaikan.
Namun berita Ristekdikti (03/07/2018) tentang pengumuman Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) mematahkan alasan kesibukan dan mewujudkan asa beropini dengan memanfaatkan limpahan waktu pada dinihari. Hanya 19,3% peserta ujian SBMPTN 2018 dinyatakan lolos di 85 PTN. Dengan kata lain, ada 694.170 calon mahasiswa yang akan mengisi jalur seleksi mandiri PTN/PTS atau jalur tanpa tes Universitas Terbuka.
Jumlah tersebut bukan pangsa pasar yang sedikit. Meskipun pendidikan tinggi bukan perusahaan namun tidak dapat dipungkiri jumlah mahasiswa dibutuhkan untuk menopang roda kehidupan sivitas akademika kampus sehingga dapat dipastikan perguruan tinggi akan berlomba-lomba melakukan upaya promosi untuk meningkatkan kuantitas mahasiswanya. Setiap perguruan tinggi baik secara sengaja atau tidak, tersirat atau tersurat akan menonjolkan sisi kelebihan program studi unggulan dan sistem pendidikan.
Gaung PJJ
Sistem pendidikan yang sangat gencar digaungkan oleh Menristekdikti tahun ini adalah Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Hal ini disampaikan Menristekdikti pada 90 pimpinan PTN yang menghadiri pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia di Universitas Terbuka, Senin, 16 April 2018. Payung hukum PJJ pada pendidikan tinggi tertuang pada Permendikbud Nomor 109 tahun 2013. Jauh sebelum itu, 34 tahun sebelumnya, Universitas Terbuka merupakan aktor tunggal penyelengara PJJ yang diizinkan oleh pemerintah.
Tahun ini, kebanyakan PTN/PTS laksana “kebakaran jenggot” karena geliat serentak yang dikobarkan oleh Menristekdikti tentang PJJ baik PJJ lingkup program studi maupun PJJ lingkup mata kuliah. Setiap perguruan tinggi, mau tidak mau, diharapkan memberikan pengalaman online learning pada mahasiswanya untuk beberapa mata kuliah yang ditawarkan.
Hal yang menarik bukan siapa, atau bagimana mengimplementasikan PJJ di pendidikan tinggi akan tetapi keniscayaan penggunaan teknologi khususnya online yang juga merambah sistem pembelajaran.Seperti sebelumnya, kita sudah disuguhi drama penolakan terhadap ojek online, taksi online, dan shopping online yang kini justru menjadi primadona.
Kegelisahan yang sama juga terbaca di lingkungan kampus yang akan mencoba menerapkan PJJ meskipun masih terlihat elegan. Pertanyaan-pertanyaan meragukan seperti bagaimana pembentukan mental melalui sistem daring, bagaimana sistem laporan untuk mata kuliah berpraktek, dan berbagai keraguan menyertai perpindahan kurikulum pada era revolusi industri keempat.
Melebur Arogansi
Disinilah peran ristekdikti sebagai lembaga yang mengayomi pendidikan tinggi mencoba untuk melebur sifat-sifat arogansi yang tersembunyi pada pendidikan tinggi. Arogansi lahir jika yang ingin didengar dan dikemukakan hanyalah hal yang baik-baik saja. Arogansi tumbuh subur jika budaya berdiam diri lebih diapresiasi dibandingkan upaya memberikan saran perbaikan dan inovasi.
Arogansi rawan muncul ketika PTN/PTS beranggapan pembelajaran tatap muka adalah yang terbaik. Arogansi mencuat ketika Universitas Terbuka hanya menjadi pelaku tunggal PJJ. Kenapa? Karena masyarakat Indonesia yang akan dicerdaskan begitu banyaknya, begitu beragam latar belakang, dan begitu tersebar.
Ketika PTN/PTS konvensional merapatkan diri ke UT untuk bekerjasama tentang PJJ maka sebaliknya UT juga perlu merapatkan diri ke PT lain baik dalam dan luar negeri dalam hal publikasi penelitian. Ini yang dinamakan win-win cooperation. Universitas Terbuka perlu membuka diri untuk meninjau ulang aturan kerja dosen agar lebih banyak bersifat akademik alih-alih pelaku administratif akademik delapan jam sehari. Sehingga perubahan paradigma pendidikan tinggi tidak hanya pekerjaan rumah PT konvensional.
Perguruan tinggi konvensional perlu membuka fikiran untuk menyiapkan berbagai variasi sumber belajar yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja oleh mahasiswa. Dosen-dosen PTN/PTS perlu berlega hati ketika waktunya juga tersita untuk melayani pertanyaan dan keluhan mahasiswa secara transparan via online maupun offline pada pembelajaran daring.
Peringkat 100 perguruan tinggi oleh dikti sudah diumumkan. Ketika kurikulum sudah direvisi seyogyanya kriteria pemeringkatan 100 perguruan tinggi juga perlu segera dibenahi dengan mempertimbangkan pengelompokkan berdasarkan penerapan PJJ. Agar UT yang sekarang menjadi primadona untuk diajak kerjasama dalam PJJ dapat dinilai berimbang pada sistem pemeringkatan oleh dikti. Faktanya, dengan sistem Revolusi Industri 4.0, cukup banyak perguruan tinggi yang sudah menggeliat dengan sistem PJJ. Sehingga layak dan pantas menjadi salah satu komponen penilaian peringkat perguruan tinggi.
Tidak pernah ada kata sempurna bagi yang ingin selalu meningkatkan kualitas. Pendidikan tinggi sudah saatnya menerima tantangan zaman dengan memperluas akses namun tetap konsisten memperhatikan detil kualitas dan menghargai yang kecil. Agar angsa emas tetap bertelur emas tanpa harus dipaksakan.
Saatnya saling membuka diri menerima saran dan kritikan untuk merangkul sebanyak mungkin potensi mahasiswa dalam rangka meningkatkan angka partisipasi kasar Indonesia. Bergandengan tangan menyelesaikan persoalan peningkatan kemampuan manusia Indonesia di mata bangsa sendiri dan internasional. Demi memantapkan diri sebagai generasi berkualitas siap pakai pada masa emas 2030. Indonesia kita.
Terbit pada Tajuk rakyatmerdeka.news.com, 22 Desember 2018.