Kenapa Mama Masih Belajar Padahal Sudah Tamat S-3?

SEBELUM beranjak tidur, anak saya, Af, tiba-tiba bertanya pertanyaan di atas. Mungkin pertanyaan yang sudah lama ia pendam setelah mengamati kegiatan mamanya setiap malam. Saya agak lama tercenung sebelum akhirnya mencoba menjawab. Jawaban yang diupayakan tidak diplomatis agar tidak menjadi tambahan pikiran baginya, anak kelas empat Sekolah Dasar. Kenapa? Karena implementasi kurikulum pendidikan anak-anak kita di lapangan, pada umumnya, masih sarat dengan prioritas menguras otak daripada lebih banyak bermain dan membangun karakter. Meski sudah beberapa kali pergantian kurikulum. Pada akhirnya, saya memilih untuk menghindari jawaban seperti “belajar itu sepanjang hayat”. Agar ia dapat tidur dengan tenang.

Pada perguruan tinggi, perubahan kurikulum juga merupakan keniscayaan. Saat ini, setiap perguruan tinggi dihimbau untuk mampu mengadaptasi kebutuhan era Revolusi Industri generasi keempat (RI 4.0). Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam bentuk rekomendasi hasil rapat kerja nasional (rakernas) di Universitas Diponegoro (Ristekdikti, 4 Januari 2019). Salah satu dari tujuh fokus rekomendasi berbunyi, “Penyesuaian sistem & kurikulum yang diintegrasikan dengan sistem pembelajaran online ataupun blended learning tanpa menambah SKS. Penyesuaian ini termasuk fleksibilitas dalam penerapan model semester atau triwulan”

Terinspirasi dari cara seorang anak bertanya, timbul pertanyaan mendasar namun penting. Cukup satu pertanyaan yang dapat menjadi renungan kita bersama. Kenapa mahasiwa butuh kurikulum baru? Jika merujuk pada arahan Kemenristekdikti (Belmawa Ristekdikti, 19 Mei 2018) maka jawabannya adalah lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat menguasai minimal tiga literasi baru yaitu: technology literacy, big data literacy serta humanity literacy. Namun apa jadinya jika yang menjawab mahasiswa.

Karena terkadang, entah banyak atau hanya sekelebat, pelaksanaan pergantian kurikulum tidak selalu didasari prioritas untuk kepentingan mahasiswa. Padahal pergantian kurikulum tidak lah gampang, cepat dan murah. Banyak pakar yang dilibatkan untuk berfikir keras agar blueprint kurikulum baru terbentuk. Sehingga wajar, pertemuan demi pertemuan diselenggarakan, baik tingkat nasional seperti bimbingan teknis antara utusan perguruan tinggi dan Kemenristekdikti sampai tingkat regional di perguruan tinggi masing-masing. Pertemuan untuk membahas pengembangan kurikulum, mulai dari sistematika penyusunan kurikulum di setiap program studi hingga cara pelaksanaan kurikulumnya.

Tipe pelaksanaan kurikulum biasanya diserahkan ke masing-masing perguruan tinggi sesuai kebutuhan. Apakah menerapkan ekivalensi kurikulum atau tidak. Pada ekivalensi kurikulum, mahasiswa baru dan lama wajib menggunakan kurikulum baru. Sebaliknya, pada non ekivalensi kurikulum, mahasiswa lama menggunakan kurikulum lama dan mahasiswa baru menggunakan kurikulum baru.

Bagaimana jika ada tipe ketiga yang diberi nama semi ekivalensi kurikulum? Pada tipe ini, semua angkatan menggunakan kurikulum baru kecuali mahasiswa lama yang mengulang mata kuliah. Hal ini dapat diterapkan misalnya pada perguruan tinggi yang menerapkan pembelajaran jarak jauh atau kurikulum yang diintegrasikan dengan sistem pembelajaran online seperti fokus rekomendasi hasil rakernas Kemenristekdikti yang disebut pada awal tulisan ini.

Sebagai contoh, mahasiswa Y mengambil mata kuliah A. Pada kurikulum lama, mata kuliah A bukan mata kuliah berpraktek. Saat Y mengulang mata kuliah tersebut pada semester selanjutnya, mata kuliah tersebut berubah menjadi mata kuliah praktek karena pergantian kurikulum. Pada perguruan tinggi yang menerapkan sistem semi ekivalensi kurikulum, mahasiswa Y cukup melaksanakan ujian tanpa harus menunggu terpenuhi kuota untuk melaksanakan praktek atau jika praktek online belum tersedia atau sistem pelaksanaan kurikulum belum tersosialisasi dengan baik. Dengan tipe sistem seperti ini diharapkan tujuan peningkatan kompetensi mahasiswa dapat dijembatani oleh perguruan tinggi melalui kurikulum baru dan di saat bersamaan mahasiswa merasa terjamin karena haknya terfasilitasi secara unik sesuai kebutuhan.

Kurikulum baru akan selalu menemui beberapa kendala saat penerapannya. Oleh karena itu, pengawasan dan evaluasi agar kurikulum berjalan dengan baik sesuai tujuan tidak dapat semata-mata dipercayakan kepada pimpinan perguruan tinggi dan para pejabat terkait di Kemenristekdikti. Mahasiswa sebagai objek utama diminta untuk proaktif untuk mengawal dan kreatif memberi saran membangun. Di sisi lain, pihak peguruan tinggi mampu berlapang dada mendengarkan dan mewujudkan cita-cita bersama yang melandasai sebuah kurikulum dirubah. Karena sekali lagi, tujuan kurikulum dan repotnya urusan pergantian kurikulum adalah kebutuhan. Kebutuhan mahasiswa dan perguruan tinggi. Kebutuhan untuk mencetak mahasiswa lebih berkualitas. Untuk kualitas Indonesia kini dan nanti.

Seperti jawaban saya ke Af, “karena mama masih butuh belajar agar mahasiswa dan mama dapat lebih baik dari sebelumnya”.

 

Terbit pada Tajuk rakyatmerdekanews.com, 8 Januari 2019.

Posted in News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *